Banda Aceh, DOBRAKPOST.COM | Acara Diskusi Pojok Migas Aceh dengan tema ‘pers dan strategi pentahelix dalam tata kelola migas Aceh’ digelar di Hotel Kryiad Muraya Banda Aceh, Rabu, 19 November 2025.
Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian Musyawarah Daerah (MUSDA) ke-II Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Aceh.
Diskusi ini dipandu moderator Zhafira Rahma Amani, mahasiswa Universitas Syiah Kuala (USK) yang juga merupakan Duta Genre Aceh 2024.
Suasana diskusi berjalan dinamis dengan beragam pandangan kritis dari para narasumber terkait arah tata kelola migas Aceh di masa mendatang.
Kepala Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA), Nasri Djalal, menegaskan bahwa peningkatan produksi migas harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
“Boombing migas ini harus dirasakan langsung oleh rakyat Aceh. Dalam lima tahun terakhir, produksi kita konsisten melebihi target dan DBH meningkat, tetapi itu belum otomatis berdampak jika tata kelola tidak disiplin dan transparan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pemerataan manfaat perlu menjadi prioritas agar migas tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Ketua JMSI Aceh, Hendro Saky, menekankan pentingnya sinergi pentahelix antara pemerintah, industri, media, akademisi, dan komunitas.
“Kolaborasi ini bukan hanya penting, tetapi mendesak. Jika ada ruang abu-abu, maka itu akan dimanfaatkan pihak tertentu. Media harus hadir mengawal arus informasi, terutama terkait value creation seperti lapangan kerja lokal, signature bonus, pajak daerah, hingga kontribusi sosial perusahaan,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya transparansi pada joint study area yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Dosen Teknik Kebumian Fakultas Teknik USK, Dr. Muchlis, M.Sc, mengingatkan bahwa penguatan SDM lokal menjadi kunci agar Aceh tidak sekadar menjadi penonton di industri migas.
“Industri ini sangat kompleks, mulai dari geologi, pengeboran, logistik hingga safety. Tanpa SDM yang kuat dan kurikulum yang adaptif, Aceh akan mengalami resource curse: sumber daya besar, tetapi kapasitas manusia tidak siap,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa akademisi harus menjadi penghubung antara kampus dan industri agar program magang, riset bersama, dan praktisi mengajar benar-benar meningkatkan kompetensi generasi muda Aceh.
Praktisi media, Akhiruddin Mahjuddin, turut menyoroti pentingnya peran pers dalam memperkuat literasi publik terkait migas.
“Isu energi itu sangat teknis dan rentan disalahpahami. Aceh punya sejarah panjang soal konflik dan sensitivitas terkait sumber daya alam. Karena itu media harus berani kritis sekaligus objektif,” katanya.
Ia menilai media harus mengawal informasi terkait pembangunan infrastruktur, dampak sosial-ekonomi, hingga hadirnya industri turunan seperti petrochemical dan power generation yang mempengaruhi UMKM lokal.
Sementara itu, Ketua Umum JMSI, Dr. Teguh Santosa, mengingatkan bahwa peran pengawasan pers tidak boleh dilemahkan, terutama pada sektor strategis seperti migas.
“Pers itu filter publik. Aceh kini berpotensi kembali menjadi pusat energi nasional, maka pers harus memastikan booming migas tidak berubah menjadi booming masalah,” ujarnya. Ia menekankan bahwa setiap proses mulai dari eksplorasi, joint study hingga distribusi manfaat harus tetap akuntabel.
Diskusi Pojok Migas ini diharapkan menjadi ruang kolaborasi sekaligus kontrol publik yang kuat dalam memastikan tata kelola migas Aceh berjalan profesional, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat












