Aceh Utara, DOBRAKPOST – Di sudut Kabupaten Aceh Utara, konflik administratif yang tak kunjung selesai tengah mengguncang dua desa bertetangga, namun ini bukan soal tetangga tetapi antara ibu dan anak lebih tepatnya.
Gampong Rayeuk Naleung, yang telah sah secara hukum, kini menghadapi tantangan dari Seupeng, sebuah wilayah yang sejak 1964 mengklaim sebagai desa mandiri, meski tanpa dasar hukum yang jelas.
Rayeuk Naleung dulunya memiliki enam dusun, termasuk Seupeng. Namun, entah karena semangat leluhur atau ego klasik yang diwariskan turun-temurun, sebagian warga Seupeng mulai merasa lebih dari sekadar dusun.
Mereka membangun pemerintahan sendiri, lengkap dengan keuchik, tuha peut, hingga stempel terkesan asli namun palsu untuk administrasi jual beli tanah. Bahkan, mereka telah memiliki masjid dan kantor desa sendiri. Namun, semua itu berdiri tanpa fondasi hukum yang sah.
Benturan Realitas, Administrasi versus Warisan Ego Leluhur Gampong Seupeng
Dalam kacamata hukum, Seupeng hanyalah bagian dari Gampong Rayeuk Naleung. Namun, bagi masyarakatnya, mempertahankan ego leluhur untuk berpisah dari Rayeuk Naleung adalah kemewehan.
Seakan ada nostalgia feodal yang membuat mereka ingin berdiri sendiri, meski tak ada legitimasi dari negara.
Persoalan ini menjadi pelik ketika Seupeng mulai menuntut pembagian dana desa. Karena tidak diakui secara administratif, mereka tidak mendapat alokasi anggaran dari pemerintah pusat. Akibatnya, mereka meminta agar dana desa Rayeuk Naleung dibagi dua.
“Jika dana desa dibagi tanpa dasar hukum yang jelas, maka siapa yang akan bertanggung jawab secara hukum?” ujar Sulaiman A.B, seorang tokoh masyarakat. “Kalau ada masalah, yang dipanggil aparat penegek hukum bukan keuchik Seupeng, tapi keuchik Rayeuk Naleung. Ini jauh dari prinsiolp kepastian hukum.”
Seupeng, Antara Pemekaran atau Kembali ke Pangkuan Rayeuk Naleung
Permintaan Seupeng menjadi paradoks. Mereka ingin berdaulat secara administratif, tetapi tetap bergantung pada anggaran desa induk. Ini seperti ingin menjadi desa sendiri, tetapi masih berharap tunjangan dari “orang tua”.
Nurdin, seorang warga, menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Aceh Utara harus segera mengambil keputusan. “Pilihannya hanya dua. Seupeng harus kembali menjadi dusun di bawah Rayeuk Naleung, atau diperjuangkan menjadi desa administratif yang sah. Tidak bisa menggantung seperti ini,” ujarnya.
Kekacauan ini juga membawa dampak pada transaksi ekonomi. Dengan tidak adanya legalitas, semua dokumen jual beli tanah yang menggunakan stempel Seupeng bisa dianggap tidak sah. Jika suatu saat ada sengketa, warga yang telah membeli tanah dengan dokumen itu berpotensi kehilangan haknya.
Mimpi yang Tak Berujung atau Realitas yang Harus Diterima?
Seupeng sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, mereka memegang erat ego leluhur yang bersifat subyektif, sebuah identitas eks klasik yang menolak tunduk pada aturan negara.
Di sisi lain, tanpa pengakuan administratif, mereka hanya akan menjadi bayang-bayang dari desa sah yang ada di sekitarnya.
Kini, pertanyaan besar bagi Seupeng adalah, apakah mereka akan terus mempertahankan klaim yang tidak memiliki dasar hukum, ataukah mereka akan membuka diri untuk mengikuti jalur yang sah?
Sementara mereka merawat nostalgia masa lalu, roda pemerintahan dan hukum terus berputar. Dan waktu tidak akan selamanya berpihak pada mereka.
Sikap Seupeng, Dalam Persfektif Hukum
Penggunaan stempel dan tanda tangan oleh pihak yang tidak berwenang atau tidak sah merupakan pelanggaran hukum di Indonesia. Hal ini BERITAMERDEKA rangkum dari beberapa sumber dan artikel.
Tindakan semacam ini dapat dikategorikan sebagai pemalsuan surat atau dokumen resmi, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pemalsuan Surat Menurut KUHP
Pasal 263 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Selain itu, Pasal 263 ayat (2) KUHP menegaskan bahwa barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian, diancam dengan pidana yang sama.
Penggunaan Stempel dan Tanda Tangan Tanpa Wewenang
Penggunaan stempel dan tanda tangan tanpa wewenang yang sah, terutama oleh entitas yang tidak diakui secara hukum, dapat dianggap sebagai tindakan pemalsuan.
Misalnya, jika sebuah organisasi atau individu menggunakan stempel atau tanda tangan pejabat pemerintah tanpa izin atau tanpa status hukum yang jelas, tindakan tersebut dapat dijerat dengan Pasal 263 KUHP.
Sebagai contoh, pernah terjadi kasus di mana seorang staf memalsukan tanda tangan panitera pada sebuah surat menggunakan komputer. Pelaku tersebut dihukum satu tahun penjara karena tindakannya dianggap sebagai pemalsuan surat.
Dengan demikian, penggunaan stempel dan tanda tangan oleh pihak yang tidak berwenang atau tidak sah merupakan pelanggaran pidana di Indonesia. Tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP, khususnya Pasal 263, dengan ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun.
Status Gampong Seupeng yang hingga kini belum memiliki legalitas sebagai desa administratif resmi berpotensi menimbulkan persoalan hukum.
Tindakan pemerintahan yang dijalankan oleh struktur kepemimpinan di Seupeng, termasuk penerbitan dokumen administratif, dinilai dapat menjadi objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Salah satu Hakim Pengadilan Negeri di Aceh Utara dalam konsultasi hukum dengan BERITAMERDEKA, menegaskan bahwa kasus seperti ini dapat diselesaikan melalui PTUN, bukan pengadilan umum.
Namun, juga bisa diselesaikan secara pidana jika Keusyiek Gampong Rayeuk Naleung keberatan soal penggunaan stempel dan Administrasi jual beli tanah tanpa hak. dan nanti baru ada kewenagan Pengadilan Negeri mengadili atas limpahan berkas dari penyidik dan jaksa.
Lebih lanjut Ia menjelaskan, apabila suatu entitas yang belum memiliki status hukum sebagai desa administratif tetap menjalankan fungsi pemerintahan dan mengeluarkan keputusan administratif, maka keputusan tersebut berpotensi cacat hukum dan dapat dibatalkan melalui PTUN.
Menurutnya, ada dua metode penyelesaian pidana dan PTUN, di PTUN yang disengketakan adalah keputusan administrasi, bukan perkara perdata atau pidana.
Ia menjelaskan, merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur bahwa setiap keputusan administratif harus memiliki dasar hukum yang sah.
Selain itu kata dia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa juga menegaskan bahwa setiap desa harus memiliki status hukum yang diakui oleh pemerintah.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa masyarakat yang merasa dirugikan akibat keputusan yang dikeluarkan oleh aparatur di Seupeng dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk meminta pembatalan keputusan tersebut. Terutama soal surat menyurat jual beli tanah.
Termasuk di antaranya warga yang membeli tanah dengan dokumen yang diterbitkan oleh aparatur Gampong Seupeng, padahal desa tersebut tidak memiliki legalitas resmi.
Begitu juga dengan Gampong Rayeuk Naleung sebagai desa induk yang bisa menggugat klaim Seupeng sebagai desa mandiri tanpa dasar hukum yang jelas.
Plt Camat Tanah Luas, Bachtiar S.E, menyebutkan bahwa hari Selasa depan, Komisi 1 DPRK akan memanggil kedua belah pihak, yakni masyarakat Rayeuk Naleung dan masyarakat Supeng. Namun, informasi ini baru berasal dari pihak Komisi 1.
Ia juga menyebut, bahwa awal mula kisruh terjadi bahwa Seupeng sebagai desa non status meminta kelola dana bantuan bersumber dana desa Gampong Rayeuk Naleung untuk masyarakat Seupeng. Dan ia tidak menampik jika Seupeng telah lama mengklaim diri sebagai desa berdaulat namun masih non status sejak lama.
Sehingga, walaupun non-status mereka Seupeng telah membuat stempel dan struktur pejabat desa layaknya pemerintah desa yang sah, namun kondisi mereka tetap belum diakui oleh negara secara hukum. Sehingga atas dasar itulah Rayeuk Naleung tidak lagi memikirkan nasip Seupeng.