Aceh Utara, DOBRAK POST – Proyek normalisasi Sungai Alue Masyik – Alue Gunto di Kecamatan Tanah Luas, Kabupaten Aceh Utara, menjadi sorotan tajam. Dengan anggaran Rp 1,6 miliar yang bersumber dari APBA 2024, pengerjaan yang dimulai sejak 14 Oktober lalu belum mencapai harapan.
Sungai masih terlihat dangkal, meskipun disebut-sebut proyek ini bertujuan mengatasi banjir dan memperbaiki manajemen air.
Pantauan di lapangan memperlihatkan fakta memprihatinkan, alur sungai tetap tidak berubah secara signifikan, hanya bantalan sungai yang tampak lebih rapi. Kondisi ini memunculkan tanda tanya besar tentang kualitas pengerjaan proyek dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah banjir di kawasan tersebut.
Volume Pengerjaan yang Tidak Mengikat: Alasan atau Dalih?
Pengawas lapangan proyek, Makmur, secara terbuka mengakui bahwa volume pengerjaan tidak diatur dalam kontrak. “Volume tidak mengikat, makanya tidak bisa dimasukkan dalam kontrak,” ujar Makmur. Pernyataan ini menggambarkan lemahnya perencanaan dan pengawasan yang seharusnya menjadi fondasi utama dari proyek senilai miliaran rupiah.
Bagaimana mungkin proyek dengan anggaran besar berjalan tanpa kejelasan target volume pengerjaan? Tanpa standar yang mengikat, hasilnya menjadi tidak terukur dan terbuka terhadap potensi penyimpangan anggaran.
Bangunan Ilegal: Pembiaran atau Ketidakmampuan?
Masalah lain yang tak kalah serius adalah menjamurnya bangunan ilegal di bantaran sungai. Menurut Makmur, area yang di bawah bangunan pasar sengaja tidak disentuh karena tidak memungkinkan alat berat bekerja. Namun, apakah ini cukup untuk membenarkan kegagalan total dalam membersihkan jalur inspeksi sungai?
Jika keberadaan bangunan ilegal dibiarkan, normalisasi menjadi tidak maksimal. Ini bukan hanya soal teknis, melainkan cerminan ketidakmampuan pemerintah menegakkan aturan dan memastikan penggunaan dana publik sesuai kebutuhan masyarakat.
Proyek ini menghabiskan Rp 1,6 miliar dari HPS yang semula ditetapkan Rp 1,8 miliar. Namun, dengan hasil yang hanya mencakup pengerjaan sepanjang 2,6 kilometer tanpa perubahan berarti pada kedalaman sungai, masyarakat mempertanyakan efektivitas penggunaan anggaran tersebut.
“Anggaran sebesar itu seharusnya bisa lebih dari sekadar merapikan bantalan sungai. Ini seperti proyek asal jadi, bukan solusi nyata,” kutip BERITAMERDEKA pada pandangan Masyarakat.
Proyek ini menggambarkan kegagalan pemerintah, baik dalam perencanaan maupun pengawasan. Jika volume pengerjaan tidak diikat, bagaimana pemerintah menjamin kualitas hasil? Jika bangunan ilegal tidak ditertibkan, bagaimana proyek ini bisa disebut berhasil?
Masyarakat Aceh Utara menuntut evaluasi menyeluruh terhadap proyek ini, termasuk audit independen untuk memastikan tidak ada penyimpangan anggaran. Pemerintah juga harus mengambil langkah tegas untuk menertibkan bangunan ilegal di sepanjang bantaran sungai.
Tanpa tindakan konkret, proyek normalisasi ini hanya akan menjadi bukti lain dari pemborosan anggaran dan lemahnya tata kelola infrastruktur di Aceh. Meski ini aspirasi Dewan, namun bukankah anggaran yang digunakan bersumber dari negara? dan Masyarakat sah menerima manfaat dari itu.