Lhokseumawe, DOBRAK POST – Mahasiswa sebagai agen perubahan seharusnya menjaga netralitas dan independensi dalam setiap tindakan dan pernyataan, terutama dalam konteks politik praktis.
Namun, realitas di lapangan sering kali memperlihatkan perilaku yang bertentangan dengan prinsip tersebut, seperti yang terjadi di IAIN Lhokseumawe baru-baru ini.
Ketua Senat Mahasiswa Institut (SEMA-I) IAIN Lhokseumawe, Muhammad Anil Alwi, memberikan pandangan terbuka terkait hasil debat kandidat pasangan calon (paslon) wali kota dan wakil wali kota Lhokseumawe yang dilaksanakan di Aula Gedung Serbaguna IAIN Lhokseumawe pada 9 November 2024.

Dalam pernyataannya, ia menyebut paslon nomor urut 02, Dr. Sayuti Abubakar, S.H., M.H., dan Husaini, S.E., sebagai pasangan yang lebih unggul dalam menyampaikan visi dan misi mereka untuk memajukan kota.
Pernyataan tersebut menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk Abdul Aziz Yuda Hermawan, mahasiswa IAIN Lhokseumawe. Aziz menekankan bahwa lembaga seperti SEMA harus menjaga netralitasnya.
“Mengeluarkan penilaian publik yang memuji satu kandidat di antara yang lain bisa menimbulkan persepsi bias dan merusak kredibilitas lembaga. Jika mau berpolitik, lakukan secara pribadi, jangan bawa nama lembaga,” ujarnya.
Sebagai lembaga perwakilan mahasiswa, SEMA seharusnya menjadi wadah yang netral dan independen, bukan alat untuk menyuarakan dukungan politik praktis.
Peran mahasiswa sebagai pengawas moral (moral force) dan agen perubahan (agent of change) harus tetap berlandaskan pada keadilan dan objektivitas, bukan berpihak kepada kepentingan tertentu.
Dalam situasi seperti ini, SEMA dinilai telah melewati batas dengan memberikan pandangan yang memihak salah satu paslon.
Hal ini tidak hanya mencoreng marwah lembaga, tetapi juga memunculkan keraguan terhadap integritas mahasiswa sebagai aktor independen yang idealnya berdiri di atas semua kepentingan politik.
Mahasiswa harus menyadari bahwa independensi adalah aset utama yang harus dijaga. Ketika independensi dilepaskan demi memihak salah satu kandidat, mahasiswa kehilangan kepercayaan publik.
Oleh karena itu, penting bagi pemimpin organisasi mahasiswa, seperti Ketua SEMA, untuk lebih berhati-hati dalam memberikan pernyataan yang bisa dianggap memihak.
Sebagai agen perubahan, mahasiswa seharusnya berfokus pada gagasan, kritik konstruktif, dan advokasi untuk kepentingan masyarakat luas, bukan malah terjebak dalam politik praktis.
Sikap netral dan independen tidak hanya menjaga kepercayaan publik, tetapi juga mencerminkan kedewasaan politik mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan.
Mari kita renungkan, apakah kita masih layak disebut mahasiswa, pembawa perubahan dan suara kebenaran, atau telah berubah menjadi mahasewa, yang dengan mudah tunduk pada godaan politik praktis?